Belahan Jiwa dalam pernikahan
Belahan jiwa atau soulmate, seseorang yang menjadi teman dalam kehidupan kita. Seorang suami atau istri. Orang yang kita pilih ketika kita berkomitmen untuk membina sebuah rumah tangga. Orang yang kita cintai yang menjadi belahan jiwa, yang padanya kita curahkan segala kasih sayang dan cinta. Ketika kita memilihnya untuk menjadi pasangan kita, bisa jadi dalam proses perkenalan sampai pendekatan hanya hal – hal yang baik saja yang muncul di permukaan. Jarang kita mau menunjukan sifat asli kita pada pasangan di dalam proses ini. Segalanya terlihat manis, semuanya indah. Namun semua itu akan jadi sangat berbeda ketika kita memasuki dunia rumah tangga yang sebenarnya.
“Pernikahan” adalah sebuah ikatan emosional antara seorang pria dan wanita. Sebuah komitmen untuk membina sebuah hubungan yang lebih serius dalam wadah rumah tangga. Pahit dan manisnya harus di rasakan bersama. Ibarat sebuah taman, pernikahan adalah sebuah taman yang sangat menarik untuk di kunjungi, didiami. Sebuah taman yang indah di pandang dari sudut manapun.
Sekalipun begitu kalau kita mau jujur, pernikahan tidak lah selalu seindah itu namun tidak juga seburuk yang di takutkan oleh sebagian orang. Pernikahan adalah realitas kehidupan yang sebenarnya. Indah atau buruk tergantung bagaimana kita berperan di dalamnya. Mau di jadikan indah Insya ALLAH indah dan menjadi syurga dunia, tapi bila kita tidak pandai menjalankan peran, mungkin justru menjadi neraka.
Banyak yang terkecoh saat melangkah, mereka pikir Pernikahan adalah taman indah yang tanpa cacat. Mereka pikir di dalamnya mereka bisa menikmati bunga – bunga indah dan bersenang – senang tanpa batas. Diawali dengan impian – impian indah yang kadang kurang realistis. Padahal pernikahan adalah sebuah realita. Awal dari kehidupan yang sebenarnya. Bisa jadi pernikahan menjadi tempat mewujudkan impian yang pernah di angan kan bersama. Sekalipun pada kenyataannya kadang impian itu tidak selalu dapat terwujud atau kadang tidak sesuai dengan keinginan kita. Namun tetap harus disikapi dengan bijak.
Sebuah pernikahan di bangun di atas komitmen bersama yang dilandasi dengan rasa percaya, cinta kasih, saling menghormati dan pengertian. Di dalamnya harus terjalin komunikasi yang baik dari kedua belah pihak agar benturan – benturan yang terjadi di dalamnya dapat di siasati dan diselesaikan dengan bijak. Tidak ada pernikahan yang tanpa masalah, karena pernikahan di bangun diatas perbedaan. Namun jadikan masalah sebagai usaha untuk memperbaiki hubungan tersebut agar menjadi lebih baik. Ketika kita membangun sebuah komitmen bersama belahan jiwa, sudah pasti ada sebuah ruang yang bisa kita pakai bersama dengan menanggalkan semua keegoisan diri. Di butuhkan saling pengertian dan komunikasi agar dapat menyelaraskan visi bersama.
Seorang istri tidak mungkin mendapatkan suami yang gagah perkasa, mulia, dermawan,berilmu luas, banyak sedekah, pandai mengendalikan amarah dan segudang sifat – sifat positif lainnya. Seorang suami juga tidak mungkin mendapatkan seorang istri yang cantik, pandai menyenangkan suami, cekatan, pintar dan segudang kelebihan lainnya. Masing – masing pasti memiliki kekurangan. Rasulullah menasehati kita dalam menyikapi kekurangan yang ada pada pasangan, ” Hendaklah seorang suami mukmin tidak meninggalkan seorang istri mukminah. Kalau dia membenci suatu perangai pada istrinya, dia pasti menyukai perangai yang lain. ” (HR. Muslim). Jelas di balik kekurangan yang dimiliki pasangan kita, bisa jadi ada banyak kelebihan yang lain yang dapat meyenangkan hati. Dalam Al Qur’an ALLAH juga mengingatkan,“Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah, boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal ALLAH menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (Q.S Annisa : 19).
Bukan kah dalam ikatan pernikahan suami adalah pakaian bagi istrinya demikian juga sebaliknya. Masing – masing harus mampu menutupi aib pasangannya. Menyikapi kekurangan yang ada pada pasangan kita dengan lebih bijaksana. Menutupi kekurangan nya dengan kelebihan yang kita punya dan begitu juga sebaliknya. Namun bukan berarti tidak ada tindak lanjut dalam usaha memperbaiki diri. Harus ada usaha berupa lisan maupun perbuatan yang dilakukan dalam rangka perbaikan tersebut. Tentunya semua itu dilakukan dengan penuh keihlasan dan rasa cinta. Tanpa melupakan satu hal bahwa bisa jadi pasangan kita memiliki kelebihan yang mungkin tidak kita miliki, sehingga dalam saling menasehati tidak terkesan menggurui dan sok tau. Semua di lakukan dalam rangka meningkatkan ilmu dan menggapai ridhoNYA.
Selain ikhlas dalam menasehati tentunya harus ada juga keihlasan dalam menerima nasehat. Melunakan hati ketika menerima nasehat menjadikan hati lebih ikhlas. Semua itu tentunya harus dilakukan dengan melihat kondisi pasangan kita sekaligus memilih metode yang tepat dengan sifat pasangan. Bukankah semua itu kita lakukan demi menjaga keutuhan dan keharmonisan dalam rumah tangga ?
Menasehati pasangan sebaiknya dengan “Bil Hikmah wa mau’idzhatul hasanah” dengan hikmah dan teladan yang baik. Seperti yang juga telah di ingatkan ALLAH dalam firmanNya ” …….Nasehat menasehati dalam kebenaran, nasehat menasehati dengan kesabaran.” (QS. Al – Ashr: 3).
Terima kasih yang tak terhingga untuk
Bidadari Syurga yang menjadi guruku dan
Juga mengajarkan banyak hal dalam kehidupanku
Terutama bekal ilmu yang menjadi inspirasi tulisan
Kali ini.
“ Ummu Ghaida Muthmainah “